Bergulat dengan perilaku gunung api sejak tahun 1982, tugas yang diemban Surono meliputi tiga aras: riset pengetahuan, publikasi, dan keselamatan warga. Tiga kepentingan yang sering kali memunculkan dilema.
Lulusan jurusan Fisika ini terpanggil menekuni kegunungapian setelah pengalamannya membawa seorang periset Amerika Serikat ke Gunung Galunggung, Provinsi Jawa Barat, tahun 1982, sementara Gunung Kelud memberikan pelajaran baru tentang berubahnya perilaku sebuah gunung api. Kelud yang dikenal ledakannya yang eksplosif (meletus dengan kekuatan besar) menjadi efusif (materi piroklastik tidak dilontarkan ke udara, tetapi meleleh, mengalir di punggung gunung).
Tugasnya mengawal Gunung Merapi kali ini entah kapan berakhir. Tak seorang pun tahu. Namun, Surono pasti akan tetap setia untuk menerapkan prinsipnya: toleransi nol demi keselamatan jiwa manusia (zero tolerance for a safe life).
Di bawah merupakan rangkuman wawancara Kompas di berbagai kesempatan, termasuk di sela-sela kesibukannya melihat pemasangan alat seismik di Universitas Gadjah Mada, Yogyakarta, Sabtu (6/11/2010).
Ambil alih komando
Sejak Merapi berstatus Awas pada 25 Oktober lalu, Surono, sebagai Kepala Pusat Vulkanologi dan Mitigasi Bencana Geologi Badan Geologi Kementerian Energi dan Sumber Daya Mineral, mengambil alih komando pemantauan dan mitigasi bencana yang sebelumnya dipegang Balai Penyelidikan dan Pengembangan Teknologi Kegunungapian Yogyakarta.
Sejak saat itu seluruh data pemantauan instrumental dan visual Merapi diolah, diserap, dan dianalisisnya untuk mengambil keputusan-keputusan penting, khususnya terkait dengan keamanan warga di sekitar Merapi—ini terkait dengan penentuan radius bahaya primer Merapi.
Tugas yang diembannya amat berat mengingat faktor-faktor: tingkat kesulitan yang tinggi dalam memprediksi perilaku suatu gunung api, keselamatan jiwa warga yang dipertaruhkan, serta dampak-dampak sosial, ekonomi, dan psikologis dari sebuah keputusan. Di ranah itulah posisi Surono berada. Selalu menghadapi dilema dari waktu ke waktu. Hasil analisis dan keputusannya diteruskan sebagai rekomendasi kepada pemerintah daerah sekeliling Merapi dan pihak-pihak terkait lainnya.
Rekomendasi itu menjadi patokan bertindak, khususnya dalam upaya mitigasi dengan mengevakuasi warga. Maka, Surono pun sering dipanggil dengan sebutan Mbah Rono, mengacu pada panggilan kuncen gunung—yang perannya dekat dengan warga.
Salah satu saat paling krusial adalah saat dia menaikkan status Merapi dari Siaga (level III) menjadi Awas (level tertinggi), pada 25 Oktober. Status Awas mengandung konsekuensi: pemerintah harus mengungsikan puluhan ribu penduduk dari ”zona merah”—saat itu radiusnya 10 kilometer dari puncak.
”Jika jarak waktu antara status Awas dan letusan terlalu pendek, pemerintah daerah tidak akan punya cukup waktu mengevakuasi warga. Namun, jika jaraknya terlalu lama, akan menimbulkan masalah sosial besar karena warga akan terlalu lama di pengungsian,” ujarnya suatu waktu.
Dengan segala pengalaman, pengetahuan, dan teknologi terbatas untuk memahami gunung berapi, Surono harus mengambil keputusan dalam kondisi genting. Benar saja, 35 jam setelah ditetapkan berstatus Awas, Merapi meletus pertama kali pada 26 Oktober pukul 17.02.
Thanks for reading Lebih Dekat dengan “Mbah Rono”. Please share...!
0 Comment for "Lebih Dekat dengan “Mbah Rono”"